Abstrak
Dalam
dunia bisnis, bagi pelaku bisnis selalu ingin memperlancar barang produksinya,
sehingga dapat meningkatkan keuntungan dan mempercepat perputaran modal, yang
pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Upaya pengembangan dan
peningkatan keuntungan bagi perusahaan yang bergerak dibidang penjualan secara
kredit diperlukan dana segar yang diperoleh dari Lembaga factoring (Anjak
piutang).
Dalam
tulisan ini, penulis merasa perlu untuk mengkaji model bisnis factoring ini
ditinjau dari hukum muamalat dengan menggunakan pendekatan teori hiwalah.
Dengan pendekatan teori hiwalah ini, apakah model bisnis factoring ini sesuai
dengan teori hiwalah dalam hukum muamalat atau tidak.
Berdasarkan hasil kajian pustaka,
disimpulkan bahwa Subtansi bisnis model
factoring, dilihat dari hukum muamalat dapat disamakan dengan subtansi akad hiwalah
al-muqyyadah, artinya pengalihan pihutang pihak klien (muhal) yang terdapat
pada customer (muhil) kepada pihak factor sebagai ganti dari pembayaran
kewajiban membayar hutang dari customer kepada klien. Sisi lain, bisnis model factoring berbeda dengan al-hiwalah
al-muqayyadah, yaitu (1) dalam factoring antara customer
dengan factor sebelumnya tidak ada hubungan hukum, sedangkan dalam al-hiwalah
al-muqayyadah, antara muhil (customer) dengan factor (muhal
‘alaih) terdapat hubungan hukum yaitu terjadi akad hutang pihutang. (2) Jumlah nominal pihutang yang dialihkan oleh
klien kepada factor tidak sama dengan jumlah nominal pihutang sebelum dialihkan
( pihutang klien yang ada pada customer). Ketentuan ini bertentangan dengan
syarat al-Hiwalah al-Muqayyadah, bahwa baik hutang pihak muhil kepada
pihak muhal, maupun hutang pihak muhal ‘alaih kepada pihak muhil,
mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
Kata Kunci : factoring, hiwalah,
hukum muamalat
Pendahuluan
Dalam dunia bisnis, bagi
pelaku bisnis maupun perusahaan selalu ingin memperlancar barang produksinya,
sehingga dapat meningkatkan keuntungan dan mempercepat perputaran modal, yang
pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Cara untuk mengembangkan
dan meningkatkan tingkat keuntungan, bagi perusahaan pada umumnya maupun
perusahaan yang melakukan penjualan secara kredit, diperlukan dana segar (cash
flow) melalui lembaga pembiayaan yang bergerak dibidang Factoring (Anjak
Piutang).
Factoring
yang dikenal dewasa ini pertama kali tumbuh di Amerika tahun 1889, yang
akhirnya dikenal di indonesia pada akhir tahun 1988 sejak berlakunya Kepurusan
Presiden Nomo 61 Tahun 1988 tanggal 27 Desember 1988.[1]
Factoring atau Anjak Piutang menurut Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun
1988 adalah pembiayaan dalam bentuk dan/atau pengalihan serta pengurusan
piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangn
dalam dan luar negeri.
Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 1251/KMK.013/1988 juncto Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor
468/KMK.017/1995 menentukan bahwa kegiatan factoring terdiri dari :
1.
Pembelian atau
pengalihan piutang atau tagihan jangka pendek yang terbit dari transaksi
perdagangan dalam dan luar negeri.
2.
Penatausahaan
penjualan kredit serta penagihan piutang perusahaan.
Berdasarkan difinisi
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan factoring ada tiga pihak
yang terlibat, yaitu (1) perusahaan factoring atau disebut dengan factor
sebagai badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian
dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari
suatu perusahaan. (2) perusahaan penjual piutang atau disebut Klien (client),
atau lebih jelas lagi adalah perusahaan yang menjual atau mengalihkan piutang
atau tagihannya kepada factor. (3) Nasabah (customer), sebagai pihak yang
berutang (debitur) kepada klien, dan piutang tersebut oleh klien dijual atau
dialihkan kepada factoring.[2]
Fungsi dan Manfaat Factoring
Factoring paling tidak mempunyai dua fungsi
sebagai berikut :
1.
Factoring
berkaitan dengan masalah piutang klien. Dalam hal ini, factor berfungsi
menangani masalah atau mengambil alih piutang tersebut, dan menagih
pembayarannya pada debitur setelah piutang jatuh tempo.
2.
Factor bertanggung
jawab atas piutang klien dan membebaskan klien dari risiko kerungian.[3]
Manfaat Factoring
dapat dijelaskan sebagai berikut, antara lain (1) pembayaran piutang lebih
cepat dari jatuh tempo ; (2) menambah dana segar perusahaan ; (3) dapat
membantu peningkatan keuntungan atau laba ; (4) merupakan sarana peralihan
risiko tagian yang tidak bisa dicairkan.[4]
Mekanisme Aplikasi Factoring (Anjak Piutang)
Mekanisme factoring
atau anjak piutang yang dimaksudkan adalah proses atau tata cara penawaran
piutang sampai dengan beralihnya piutang tersebut dengan pelunasannya.
Mekanisme tersebut, jika dibuat dalam bentuk bagan akan tergambar sebagai
berikut [5]

Bagan atau skema diatas
dapat dijelaskan sebagai beriut : (1) Penjual (klien) menjual barang kepada
pembeli (customer) secara kredit dengan jangka waktu pendek. (2) untuk
kepentingan dana segar (cash flow), penjual (klien) meminta persetujuan kepada
pembeli (customer) untuk menjual piutang tersebut kepada perusahaan lembaga
pembiayaan (yang dalam hal ini perusahaan factoring) yang disebut dengan
factor. (3) Pembeli (customer) menyetujui perpindahan hak menagih dari penjual
(klien) kepada factor. (4) Data mengenai piutang yang berasal dari jual beli
tersebut oleh penjual (klien) diteruskan atau dipindahkan kepada factor. (5)
Atas dasar itu, maka dibuatlah perjanjian factoring antara penjual (klien) dan
factor. (6) Factor membayar kepada klien penjualan piutangnya diskonto
tertentu. (7) Pembeli (customer) setelah waktu jatuh temponya perjanjian jual
beli kredit membaryar utangnya kepada factor.
Macam-Macam Factoring
Factoring dapat
dibedakan dalam berbagai bentuk, yang dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu
sebagai berikut :
1.
Segi pemberitahuan
kepada pihak customer, factoring dapat dibagi dalam bentuk : (a) Disclosed
Factoring, yaitu customer diberitahu bahwa tagihan telah dialihkan
kepada lembaga factoring dan pembayaran dilakukan langsung kepada lembaga
faktoring tersebut. (b) Undisclosed Factoring, yaitu pihak customer
tidak diberi tahu tentang telah dialihnya piutang sampai terjadi sesuatu yang
dapat menimbulkan risiko kepada factor.[6]
2.
Segi keterlibatan
klien, factoring dapat dibagi dalam bentuk : (a) Resource Factoring,
yaitu pihak klien ikut serta serta memikul risiko yang mungkin timbul atas
tagihan yang dialihkannya. Factoring dapat saja mengembalikan tagihan yang
telah dijual itu kepada klien, dan ini harus dituangkan dalam kontrak
factoring. Dengan jenis resource factoring ini, pihak factoring
diberikan hak opsi untuk menjual kembali piutang tersebut kepada klien. [7]
(b) Non Resource atau without Resource factoring, jenis ini
membebankan semua tagihan beserta risiko
terhadap tagihan yang tidak terbayar kepada perusahaan factoring. Namun
perjanjian factoring dapat dicantumkan bahwa di luar keadaan macetnya
tagihan tersebut dapat diperlakukan resource, untuk menghindari tagihan
yang tidak terbayar jarena pihak klien ternyata mengirimkan barang-barang yang
cacat atau rendah mutunya. Hal ini, factor dapat menual kembali tagihan
tersebut kepada klien.[8]
3.
Segi jumlah utang
yang dialihkan, factoring dapat dibedakan menjadi : (a) Facultativ
Factoring, yaitu dalam perjanjian factoring, pihak factoring diberikan hak
opsi untuk menentukan, apakah piutang diterima dengan kontrak factoring atau
tidak. Sebelum piutang itu dinyatakan
diterima, klien bebas menjual piutangnya kepada pihak lain. (b) Whole Turn
Over Factoring, perjanjian factoring dilakukan atas seluruh turn
over dari perusahaan klien, atas piutang yang ada atau yang akan datang. Hal
ini, menghindari klien untuk menjual piutangnya kepada pihak lain.[9]
Teori Hiwalah dalam Hukum Muamalat
1.
Pengertian
Hiwalah
Hiwalah atau
hawalah berasal dari perkataan (at-Tahwiilu) yang berarti perpindahan,
pengalihan, perubahan warna kulit, memikul sesuatu diatas pundak.[10]
Secara terminologi, hawalah adalah pemindahan beban utang dari Muhil ( orang
yang berutang) kepada muhal alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.[11].
Sayid Sabiq mendifinisikan hiwalah adalah
memindahkan hutang darti penghutang (Muhil) kepada orang lain (Muhal alaih)
untuk dibayarkan kepada pemberi hutang (Muhal).[12].
Jumhur Ulama Fiqh mendifinisikannya dengan akad yang menghendaki pengalihan
hutang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang lain.[13] Ahmad
Ifham Solihin memberikan penjelasan bahwa kadang-kadang seseorang tidak dapat
membayar hutang-hutangnya secara langsung. Maka, orang tersebut boleh
memindahkan penagihannya kepada pihak lain, yaitu akad pengalihan hutang dari
satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung
(membayar)-nya.[14]
Difinisi-difinisi
hawalah yang dikemukakan diatas, secara subtansi sama, meskipun secara redaksionalnya
berbeda, yang pada intinya hawalah adalah akad memindahkan tanggung jawab
membayar hutang dari orang yang berhutang (muhil) kepada orang lain (Muhal alaih)
untuk membayar hutangnya kepada orang yang menghutanginya (Muhal).
2.
Hukum
Hiwalah dan Macam-Macamnya
Hukum Hiwalah dibolehkan berdasarkan hadits dari Abu Hurairah RA Riwayat Bukhori Muslim
bahwa Nabi saw bersabda : “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah
suatu kedhaliman, dan jika salah seorang dari kamu di-hiwalah-kan kepada
yang mampu, terimalah hiwalah itu”.
Penjelasan hadits
tersebut, jika orang yang berutang memindahkan orang lain (orang yang mampu)
hendaklah ia menerima hiwalah (pelimpahan) itu dan hendaklah ia menagih
kepada orang yang yang di-hiwalah-kan.
Kebolehan hiwalah,
disamping berdasarkan hadits Bukhori Muslim, juga didasarkan pada Ijma, Ulama
Sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada hutang yang
tidak berbentuk barang atau benda karena hiwalah adalah perpindahan hutang.
Oleh sebab itu, hiwalah obyeknya haruslah berupa uang atau kewajiban
finansial.[15]
Hiwalah
terbagi
dua macam : (1) apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang,
maka pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq (pemindahan hak). (2) jika
yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka pemindahan itu
disebut hiwalah ad-dain (pemindahan hutang). Sisi lain, Hiwalah terbagi
dua, yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada
pihak kedua yang disebut al-Hiwalah al-Muqayyadah (Pemindahan Bersyarat)
dan pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran
hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-Hiwalah al-Mutlaqah
(Pemindahan Mutlak).[16]
Contoh al-Hiwalah
al-Muqayyadah : Ahmad memberi pinjaman/berpihutang kepada Hasan sebesar
satu juta rupiah, sedangkan Hasan mempunyai piutang kepada Ridho juga sebasar
satu juta. Hasan memindahkan atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya
yang terdapat pada Ridho kepada Ahmad sebagai ganti dari pembayaran hutang
Hasan kepada Ahmad. Al-Hiwalah al-Muqayyadah, pada sisi lain menjadi hiwalah
al-haqq, karena Hasan mengalihkan hak menuntut piutangnya dari Ridho kepada
Ahmad. Disisi lain, sekaligus menjadi Hiwalah ad-dain, karena Hasan
mengalihkan kewajibannya membayar hutang kepada Ridho dan Ridholah yang
berkewajiban membayar hutang Hasan kepada Ahmad.[17]
Contoh
al-Hiwalah al-Mutlaqah : Basuki berhutang kepada Mustofa sebesar satu
juta rupiah. Burhan berhutang kepada Basuki juga sebesar satu juta rupiah.
Basuki mengalihkan hutangnya kepada Burhan sehingga Burhan berkewajiban
membayar hutang Basuki kepada Mustofa, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan
hutang itu sebagai ganti dari pembayaran hutang Burhan kepada Basuki. Al-Hawalah
al-Mutlaqah hanya menjadi hawalah ad-dain, karena yang dipindahkan
hanya hutang Basuki kepada Mustofa menjadi hutang Burhan kepada Mustofa. [18]
3.
Syarat-Syarat
Hiwalah
Hiwalah
dapat dipandang sah, jika terpenuhi beberapa syarat, yaitu : (1) Para pihak
yang terlibat dalam Hiwalah (Muhil, Muhaldan Muhal ‘alih) memiliki kecakapan
melakukan tindakan hukum (baligh, berakal dan rusyd[19]) (2)
hutang pihutang yang akan dialihkan harus jelas jumlahnya. (3) ada bukti-bukti
hutang pihutang antara muhil (yang berhutang) dan muhal (yang
menghutangi) atau hutang pihutang itu dipastikan sudah terjadi. (4) pengalihan
hutang – pihutang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat ( Muhil, Muhal
dan Muhal Alaih).[20] (5)
Harus ada kesamaan antara jenis maupun kadarnya, waktu jatuh tempo
pembayarannya.[21]
Jika pengalihan hutang itu dalam bentuk al-Hiwalah al-Muqayyadah, semua ulama
fiqh sepakat bahwa baik hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal)
maupun hutang pihak ketiga (muhal alaih) kepada pihak pertam (muhil), mestilah
sama jumlah dan kualitasnya. Jika pengalihan hutang itu berbentuk al-Hiwalah al-Mutlaqah, menurut madzhab Hanafi, maka
kedua hutang itu tidak harus sama, baik jumlah maupun kualitasnya.[22]
Akibat
Hukum Hiwalah
Akibat hukum setelah terjadi akad hiwalah
adalah sebagai berikut : (1) Jumhur ulama menetapkan bahwa kewajiban pihak
pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi
terlepas, atau dipandang telah selesai. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa
kewajiban pihak pertama masih ada, slama pihak ketiga melunasi hutangnya kepada
pihak kedua. Hal ini karena dipandang akad hiwalah adalah akad yang didasari
saling percaya, buka semata-mata pengalihan hak dan kewajiban. (2) Akad hiwalah
mengakibatkan pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak
ketiga. (3) Bagi Madzhab Hanafi, jika jumlah hutang pihutang antara ketiga
pihak tidak sama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga
masih tetap berlaku.[23]
Analisa
Hukum Islam Terhadap Factoring
Berdasarkan mekanisme aplikasi factoring
yang telah dipaparkan di muka, dapat dikatakan bahwa factoring secara
yuridis formal adalah sistem bisnis yang memadukan antara transaksi jual beli
kredit dengan jual beli pihutang. Dikatakan jual beli kredit, ketika
penjual barang (klien) menjual barang kepada pembeli (customer) dalam jangka waktu
tertentu. Dikatakan jual beli pihutang, ketika penjual barang (Klien) menjual
pihutangnya yang terdapat pada customer kepada lembaga pembiayaan factoring
(Factor). Bila dicermati, model bisnis factoring ini, secara subtansi merupakan
pengalihan pihutang dari klien (penjual barang) mengalihkan pihutangnya yang
ada pada customer kepada factor (lembaga factoring), maka akibat hukum yang
terjadi, hubungan hukum antara pihak klien dengan customer dengan klien dipandang
tidak ada, karena hubungan hukum tersebut berpindah atau dialihkan kepada pihak
factor dengan customer.
Berpihak dari analisa tersebut, maka
model bisnis factoring, dilihat bingkainya merupakan transaksi jual
beli, tetapi dilihat subtansinya adalah transaksi hutang pihutang yang disertai
pengalihan tuntutan hak penagihan pembayaran hutang dari pihak klien kepada
pihak factor yang berakibat tanggung jawab membayar hutang dari pihak customer
yang sebelumnya kepada klien akhirnya berpindah kepada pihak factor. Dengan
kata lain, dalam factoring, yang dipindahkan adalah tuntutan hak penagihan
pembayaran hutang dari pihak klien kepada pihak factor dengan cara
menjual pihutang klien yang ada pada customer kepada pihak faktor
sebagai ganti pembayaran hutang customer kepada klien. Jika dihubungkan
dengan akad hiwalah dalam hukum muamalat, dilihat dari segi pengalihan
tuntutan hak penagihan pembayaran hutang, senada dengan al-hiwalah
muqayyadah karena pengalihan pihutang klien yang ada pada costomer itu
sebagai ganti pembayaran customer kepada klien, atau dapat disebut hiwalah
al-haqq karena yang dipindahkan adalah hak penagihan hutang, tetapi disisi
lain terdapat perbedaan antara keduanya, dalam factoring antara customer
dengan factor sebelumnya tidak ada hubungan hukum, artinya pihak
customer tidak punya pihutang dengan pihak factor. Berbeda dalam akad hiwalah
al-muqayyadah, hubungan antara muhil (dalam fatoring disebut
customer) dengan pihak ketiga (muhal ‘alaih) yang dalam factoring disebut
factor sebelumnya ada hubungan hukum, artinya pihak muhil
( dalam factoring “customer”) punya pihutang dengan muhal ‘alaih (
dalam factoring “factor”). Ini berarti dalam model bisnis factoring, dilihat
dari sudut hukum muamalat, dalam hal pengalihan pihutang pihak klien kepada factor
dapat disamakan dengan al-hiwalah al-muqayyadah. Tetapi dilihar dari
sisi lain, artinya pihak customer harus membayar harga barang dalam jangka
tertentu kepada pihak factor dapat disamakan dengan akad al-bay’
al-taqshit (jual beli kredit yang cara pembayarannya tidak cash tetapi
dengan tempo) atau dapat juga disamakan dengan jual beli murabahah,
hanya berbeda dalam hal harga pokok barang dan tingkat keuntungan, dalam model
bisnis factoring tidak disebutkan secara terbuka kepada pihak customer,
sedang dalam jual beli murabahah
harga pokok barang dan tingkat keuntungan dijelaskan atau disepakati oleh pihak
pembeli ( dalam factoring “customer”).
Berdasarkan mekanisme aplikasi
factoring dan jenis discloced factoring, terdapat ketentuan-ketentuan
sebagai syarat factoring yaitu :
1.
Ada persetujuan
pengalihan pihutang klien yang ada pada customer kepada pihak factor,
dalam factoring ada bukti perjanjian factoring antara penjual
(klien) dan factor, hal ini sesuai dengan syarat hiwalah yaitu
pengalihan hutang – pihutang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat ( Muhil,
Muhal dan Muhal Alaih) dan ada bukti-bukti hutang pihutang antara
muhil (yang berhutang) dan muhal (yang menghutangi) atau hutang
pihutang itu dipastikan sudah terjadi.
2.
Factor
membayar kepada klien penjualan piutangnya diskont tertentu. Ini
berarti, jumlah hutang pihutang pihak customer dengan klien akan berbeda dengan
jumlah harga pihutang yang dialihkan oleh klien kepada factor. Syarat ini yang
tidak sesuai dengan syarat akad hiwalah, yaitu harus ada kesamaan antara
jenis maupun kadarnya, waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika pengalihan hutang
pihutang itu dalam bentuk al-Hiwalah al-Muqayyadah, semua ulama fiqh
sepakat bahwa baik hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal),
maupun hutang pihak ketiga (muhal ‘alaih) kepada pihak pertama (muhil),
mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas,
dapatlah diambil kesimpulan bahwa :
Subtansi bisnis model factoring, dilihat dari hukum muamalat
dapat disamakan dengan subtansi akad hiwalah al-muqyyadah, artinya
pengalihan pihutang pihak klien (muhal) yang terdapat pada customer (muhil)
kepada pihak factor sebagai ganti dari pembayaran kewajiban membayar hutang
dari customer kepada klien. Dilihat dari sisi lain, bisnis model factoring berbeda dengan al-hiwalah
al-muqayyadah, yaitu (1) dalam factoring antara customer
dengan factor sebelumnya tidak ada hubungan hukum, sedangkan dalam al-hiwalah
al-muqayyadah, antara muhil (customer) dengan factor (muhal
‘alaih) terdapat hubungan hukum yaitu terjadi akad hutang pihutang. (2) Jumlah nominal pihutang yang dialihkan oleh
klien kepada factor tidak sama dengan jumlah nominal pihutang sebelum dialihkan
( pihutang klien yang ada pada customer). Ketentuan ini bertentangan dengan
ketentuan dalam akad hiwalah, yaitu syarat al-Hiwalah al-Muqayyadah, bahwa
baik hutang pihak muhil kepada pihak muhal, maupun hutang pihak muhal
‘alaih kepada pihak muhil, mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
Daftar
Pustaka
Antonio,
Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari teori ke Praktek, Jakarta :
Gema Insani.
Anwar,
Syamsul , 2007, Hukum Perjanjian Syari’ah Studi tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat, Jakarta : PT RajaGrafinda Persada.
Asyhadie,
Zaeni, 2005, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksnaannya di Indonesia,
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Fuad,
Munir, 1995, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Bandung : Citra
Aditya Bakti.
Haroen, Nasrun, 2000, Fiqh
Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama.
Iska,
Sukri, 2012, Sistem Perbankan Syari’ah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi,
Yogyakarta : Fajar Media Press.
Sabiq,Sayid,
1987, Fikih Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Bandung :
al-Ma’arif.
Solihin,
Ahmad Ifham, 2008, Ini Lho, Bank Syari’ah, Jakarta : PT Grafindo Media
Pratama.
az-Zuhaili,
Wahbah, 1989, al-Fiqhu al-Islami wa Adullatuhu, Beirut : darul Fikr, JUZ
VI.
[1] Zaeni Asyhadie,
2005, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksnaannya di Indonesia, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, hal.108.
[2] Munir Fuadi, 1995, Hukum
Bisnis dalam Teori dan Praktek, Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 87.
[3] Zaeni Asyhadie,
2005, Op. Cit., hal. 110
[4] Ibid., hal.
111.
[5] Ibid.,
hal.112
[6] Ibid., hal.
114
[7] Munir Fuady, 1995, Op.
Cit., hal. 110.
[8] Zaeni Asyhadie,
2005, Op.Cit., hal. 115,
[9] Ibid.
[10] Sukri Iska, 2012, Sistem
Perbankan Syari’ah di Indonesia dalam
Perspektif Fikih Ekonomi, Yogyakarta : Fajar Media Press, hal. 188. Lihat
Nasrun Haroen, 2000, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, hal. 221.
[11] Muhammad Syafi’i
Antonio, 2001, Bank Syari’ah dari teori ke Praktek, Jakarta : Gema
Insani, hal. 126.
[12] Sayid Sabiq, 1987, Fikih
Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Bandung : al-Ma’arif, hal. 42.
[13] Asy-Syarbaini al-Khatib, “ Mughni al-Muhtaj”
dalam Nasrun Haroen, 2000, Op. Cit., hal. 222.
[14] Ahmad Ifham
Solihin, 2008, Ini Lho, Bank Syari’ah, Jakarta : PT Grafindo Media
Pratama, hal. 165.
[15] Wahbah az-Zuhaili,
1989, al-Fiqhu al-Islami wa Adullatuhu, Beirut : darul Fikr, JUZ VI,
hal. 4189.
[16] Nasrun Haroen,
2000, Op.Cit., hal. 222
[17] Ibid., hal. 223
[19] Rusyd adalah
kematangan berfikir dalam mengelola keuangan, bagi mazhah Hanafi, subyek hukum
yang telah memiliki sifat rusyd telah genap usia 18 tahun memasuki 19 tahun (
lihat, Ibnul Jauzi, “ at-Tahqiq fi Ahadits al-Khilaf “, dalam Syamsul Anwar,
2007, Hukum Perjanjian Syari’ah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, Jakarta : PT RajaGrafinda Persada, hal. 115)
[20] Ahmad Ifham
Solihin, 2012, Op.Cit., hal. 165-166.
[21] Sukri Iska, 2012, Op.Cit.,
hal.189. Sayid Sabiq, 1987, Op.Cit., hal. 43
[22] Nasrun Haroen,
2000, Op.Cit., hal. 226
[23] Ibid.
Assalamualaikum wrb,perkenalkan saya Sinta dari Padang saya pengusaha properti,saya ngin berbagi pengalaman kepada teman2 semua,dulu saya hanya penjual jamu keliling,hidup susah penghasilanpun hanya bisa untuk makan,saya punya anak tiga suami tinggalkan saya pada saat kelahiran anak saya yang ke 3.putus asa sempat terlintas dipikiran saya,tapi saya harus berjuang demi anak2 saya,tidak sengaja saya buka internet dan saya lihat no ustad Hakim,saya coba telpon beliau,saya dikasi solusi tapi saya ragu untuk menjalankannya tapi saya coba beranikan diri mengikuti saran beliau syukur alhamdulillah sekarang saya bisa sukses seperti ini usaha properti saya terbilang sukses,sekarang semua anak2 saya sekolah dan sudah ada yang sarjana,terimah kasih saya ucapkan pada aki guntur berkat anda saya bisa seperti ini,khusus untuk room ini terima kasih karna saya bisa berbagi pengalaman,untuk teman2 yang mau seperti saya atau yang sedang dalam kesusahan khususnya yang terlilit hutang banyak silahkan hub aki guntur di nmr 082281871557 insya Allah dikasi solusi,ini pengalaman saya nyata dan tidak ada karangan apapun sumpah atas nama Allah,salam persaudaraan,WAssalam
BalasHapus