Selasa, 14 Februari 2012

Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab Tela’ah Illat Hukum Larangan Riba Dalam Al-Qur’an Dalam Buku “Membumikan al-Qur’an”

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kontroversi seputar hukum bunga dan pembahasan riba telah menjadi perdebatan yang cukup lama. Perdebatan dalam merumuskan seputar hukum bunga dan riba tersebut, lebih mengarah pada perbedaan dalam memahami illat hukum larangan riba. Sebagian ulama fiqh klasik menggunakan pendekatan fiqhiyyah (tekstualis-formalis), sehingga segala bentuk kelebihan dari pokok hutang dikatakan sebagai riba yang diharamkan. Sementara ulama fiqh kontemporer menggunakan pendekatan makna subtansi, sehingga tidak setiap kelebihan dari pokok hutang itu menjadi riba
Perbedaan pendapat ulama seputar riba yang terjadi sekarang ini dapat dimaklumi, karena wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini.  Beliau berkata : “Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir al-Qur’an yang turun, adalah ayat-ayat riba”. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. 
Dalam pembahasan ulama fiqh klasik tidak dijumpai pembahasan tentang kaitan bunga bank dengan riba, karena sistem perekonomian dengan menggunakan model bank belum dikenal di zaman mereka. Pembahasan tentang bunga bank, apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai literatur  fiqh kontemporer. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqh Syria, membahas hukum bunga bank melalui kacamata riba dalam terminologi ulama-ulama klasik dalam berbagai madzhab fiqh. Menurutnya, apabila standar riba yang digunakan adalah pandangan ulama madzhab fiqh klasik, maka bunga bank sekarang ini termasuk riba yang diharamkan syara’, karena menurut mereka, bunga bank itu termasuk kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima dengan menggunakan tenggang waktu (ini yang dinamakan riba nasi’ah).  Pembahasan riba yang dilakukan oleh sebuah lembaga Majma’al-Buhuts al-Islamiyah di Kairo, menurut lembaga ini, sekalipun mengakui bahwa sistem perekonomian suatu negara tidak bisa maju tanpa bank dan bank belum dikenal di masa rasulullah saw., namun karena sifat bunga itu merupakan kelebihan dari pokok hutang yang tidak ada imbalan bagi orang berpihutang dan sering menjurus kepada sifat adh’afan mudha’afatan (berlipat ganda) apabila hutang tidak dibayar tepat waktu, maka lembaga ini pun menetapkan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan syara’.
Ijtihad baru (qaul al-jadid) Muhammadiyah baru-baru ini mengeluarkan fatwa mengharamkan bunga bank, karena dipandang bunga bank sama dengan riba yang dilarang oleh syara’.  Ahmad Hasan memandang bunga dan riba pada hakekatnya sama yaitu tambahan pinjaman atas uang, yang dikenal dengan riba nasi’ah. Perbedaan keduanya adalah sifat bunganya yang berlipat ganda tanpa batas. Oleh karena itu, menurutnya tidak semua riba itu dilarang, jika riba itu diartikan sebagai tambahan atas hutang, lebih dari pokok yang tidak ada unsure yang berlipat ganda adalah halal, bila tambahan itu mengandung unsure eksploitasi atau berlipat ganda, adalah riba yang dilarang agama.  Mohammad Hatta dalam buku “Islam dan Rente: Beberapa Pasal Ekonomi Jalan ke Ekonomi dan Bank”, menjelaskan perbedaan antara riba dan rente. Riba adalah kelebihan dari pinjaman yang bersifat konsumtif, sementara bunga atau rente adalah balas jasa atas pinjaman yang digunakan untuk kepentingan yang bersifat produktif.
Dalam penelitian ini akan membahas masalah riba menurut pemikiran M. Quraish Shihab dengan melihat dari sudut pandang studi al-Qur’an (Tafsir) dengan menela’ah latar belakang sosiologis yang menjadi sebab ayat riba itu turun, dan apa yang menjadi illat hukum larangan riba dalam al-Qur’an.

B. RUMUSAN MASALAH

Berangkat dari latar belakang masalah (fenomena ) diatas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :
1.    Apa yang menjadi latar belakang sosiologis sebab turun ayat riba ( Asbabul Nuzul ayat riba )
2.    Apa yang menjadi illat hukum larangan riba dalam al-Qur’an
3.    Apa yang menjadi ciri perbedaan pemikiran Quraish Shihab dengan Ahli fiqh dalam merumuskan illat hukum larangan riba.

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami :
1.    Latar belakang sosiologis yang menjadi sebab turun ayat riba
2.    Illat Hukum Larangan Riba dalam al-Qur’an
3.    Ciri perbedaan pendekatan fiqh dengan tafsir dalam merumuskan illat hukum larangan riba.

Manfaat penelitian ini sebagai berikut :

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perkembangan ilmu  pengetahuan, khususnya di bidang hukum Islam.
2.   Sebagai tambahan informasi untuk kajian hukum Islam pada perguruan tinggi

D. TINJAUAN PUSTAKA

Karya-karya ilmiyah yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran hukum Islam, khususnya tentang riba sudah banyak dilakukan oleh kalangan ahli hukum Islam, antara lain seperti Yusuf al-Qardzawi, “Bunga Bank Haram”. Abul A’la Al-Maududi, “Riba”. Muhammad Syafi’i Antonio, “ Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek”. Adi Warman Karim, “ Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan”. Muhammad Zuhri, “Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan Sebuah Tilikan Antisipasi”. Syabirin Harahap, “ Bunga Bank dan Riba dalam Islam”. Fuad Muhammad Fahruddin, “ Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi”.
Inti pembahasan dari buku-buku tersebut berkisar seputar kontroversi  mengenai hukum bunga bank, termasuk kategori riba atau tidak. Perbedaan pandangan seputar hukum bunga bank disebabkan karena perbedaan dalam memahami dan menafsirkan Illat hukum larangan riba. Bagi Ulama yang melihat illat larangan riba bukan semata-mata ada tambahan dalam pokok hutang, tetapi karena dalam riba itu ada unsur mengeksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah (dzulm) sebagaimana pada akhir ayat riba disebutkan : kamu tidak (jangan) menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maka sistem bunga dalam perbankkan nasional bukanlah termasuk riba. Sementara bagi ulama yang memandang bahwa riba adalah setiap tambahan  atau rente (bunga) atau apapun namanya yang muncul akibat dari pinjam meminjam uang sebagaimana ketentuan nash al-Qur’an ( QS.an-Nisa’, 4 ; 161, Ali Imron, 3 ; 130, al-Baqarah, 2 ; 275, 278-279 ), maka bunga bank dalam perekonomian sekarang ini dipandang sebagai riba (haram).
Dalam penelitian ini akan melihat analisis dari seorang pakar ilmu tafsir di dalam merumuskan hakekat riba atau apa yang dimaksudkan oleh al-Qur’an dengan riba yang diharamkan itu. Paradigma yang digunakan M. Quraish Shihab dalam merumuskan riba melalui pendekatan studi al-qur’an (tafsir) dengan melihat latar belakang sosiologis yang menjadi sebab ayat riba itu turun dan apa yang menjadi illat hokum larangan riba dalam al-Qur’an.

E. METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan, artinya data dan bahan kajian yang dipergunakan berasal dari sumber-sumber kepustakaan, seperti buku (kitab) tafsir dan buku-buku fiqh yang membahas masalah riba. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah karya ilmiyah yang berkaitan dengan masalah riba, yaitu karya M. Quraish Shihab Tafsir al Misbah, Membumikan Al-Qur’an.dan Wawasan al-Qur’an. Sebagai sumber data sekunder adalah sumber kepustakaan yang berkaitan dengan pembahasan riba serta buku-buku tentang  Fiqh Muamalah atau pun Ekonomi Islam. Pengumpulan data, disamping dengan dokumentasi diatas, juga peneliti akan melakukan wawancara dengan M. Quraish Shihab tentang pemikiran beliau mengenai hukum bunga bank.Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis yuridis. Pendekatan sosiologis yuridis digunakan untuk melihat latar belakang sosiologis yang menjadi sebab ayat larangan riba itu turun atau dalam bahasa tafsir adalah asbabul nuzul ayat riba. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu berusaha memaparkan fenomena hukum yang terjadi apa adanya, kemudian menarik  pemahaman atau kesimpulan berdasarkan penilaian terhadap fenomena tersebut.Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pola pikir deduktif dan deduktif

F. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.    Illat Hukum
Illat secara bahasa berarti “nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya.” Misalnya, penyakit itu dikatakan illat, karena dengan adanya “penyakit” tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit.  Menurut istilah ushul fiqh, yang dinamakan illat hukum adalah suatu sifat yang menjadi motivasi  atau yang melatar-belakangi terbentuknya hukum. Jumhur Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang dijadikan patokan itu adalah “sifat zhahir yang dapat diukur yang terdapat dalam hukum, baik sifat itu terkait dengan permasalahan bathin, tetapi bisa dinalar, seperti sukarela dalam jual beli, yang bisa langsung ditangkap panca indra, seperti pembunuhan dan pencurian maupun yang ditentukan oleh adat kebiasaan masyarakat setempat, seperti persoalan baik dan buruk.” Illat seperti inilah, menurut jumhur ulama, yang dapat dijadikan patokan dalam menentukan suatu hukum.  Oleh sebab itu, menurut jumhur ulama illat berbeda dengan hikmah. Hikmah adalah sesuatu yang sulit diukur dan ditangkap panca indra. Hikmah bisa berbeda dalam pandangan satu individu dengan individu lain dan berbeda antara satu kedaan di suatu tempat dengan keadaan di tempat lain, sehingga tidak dapat dijadikan patokan umum. Misalnya, kebolehan berbuka puasa bagi para musafir merupakan hikmah untuk menghindari kesulitan (masyaqqah) dari mereka. Masyaqqah itu sendiri bisa berbeda untuk setiap orang dan keadaan. Orang yang bepergian dengan pesawat udara, tidak akan mengalami kesulitan dalam perjalanannya. Berbeda dengan orang yang bepergian dengan menggunakan angkutan umum, akan banyak menemui kesulitan dalam perjalanannya. Dengan demikian, menurut jumhur ulama ushul fiqh, hikmah itu sulit diukur dan tidak bisa berlaku umum, sedangkan yang akan dijadikan illat hukum itu adalah sesuatu yang dapat diukur dan berlaku secara umum untuk semua orang, kedaan dan tempat. Dalam masalah musafir, yang menjadikan bolehnya meng-qashar (meringkas) shalat atau bolehnya berbuka bagi orang yang berpuasa, yang menjadi illatnya adalah safar (perjalanan) itu sendiri, bukan masyaqqah-nya. Inilah yang dimaksud oleh jumhur ulama ushul fiqh dengan ungkapan “hukum itu beredar sesuai dengan illatnya bukan dengan hikmahnya”. Maksudnya, hukum itu ada berdasarkan illat-nya, sekalipun hikmahnya tidak ada, dan hukum itu juga tidak akan ada karena illat-nya hilang, sekalipun hikmahnya masih ada. Melakukan perjalanan dalam bulan ramadhan, misalnya, merupakan illat dibolehkannya berbuka puasa atau meng-qasar shalat, sekalipun masyaqah (yang menjadi hikmah boleh berbuka puasa dan meng-qasar shalat) tidak ditemui dalam perjalanan tersebut. Seseorang yang melakukan perjalanan di bulan ramadhan dengan pesawat udara, tidak menemui kesulitan, baik dalam berpuasa maupun dalam melakukan shalat. Mereka tetap dibolehkan berbuka atau meng-qasar shalat, karena illat hukumnya ada, yaitu melakukan perjalanan (safar).
Jumhur ulama ushul fiqh, juga membedakan antara illat dengan sebab. Menurut mereka, sebab lebih umum kandungannya dari illat. Setiap illat adalah sebab dan setiap sebab bukan illat. Apabila suatui sifat sejalan dengan suatu hukum dan dapat ditangkap akal manusia atau dinalar manusia, maka sifat itu disebut sebagai illat sekaligus sebab. Misalnya, transaksi jual beli beli yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) untuk memindahkantangankan hak milik, disebut illat sekaligus sebab. Apabila persesuaian sifat dengan suatu hukum tidak bisa dinalar manusia, maka sifat itu disebut sebab. Misalnya, tergelincirnya matahari dari titik kulminasi atas merupakan penyebab wajibnya melaksnakan shalat. Tergelincirnya matahari tersebut dikaitkan dengan kewajiban shalat zhuhur merupakan keterkaitan yang tidak bisa dinalar akal manusia. Hal seperti ini, jumhur ulama ushul fiqh disebut sebab, bukan illat.
2.    Pengertian Riba
Riba menurut bahasa berarti ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar.  Ibnu al-Arabi al-Maliki mendifinisikan riba sebagai tambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah.  Badr ad-Din al-Ayni memberikan pengertian riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.  Imam Sarakhsi dari madzhab Hanafi menjelaskan riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transasksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syari’ah atas penambahan tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai riba tersebut, secara umum yang dinamakan riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam tanpa dimbangi oleh suatu transaksi yang dibenarkan oleh syari’ah. Maksud transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Misal dalam jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan modal juga ikut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa mucul setiap saat.
Dalam transaksi simpan pinjam dana (hutang pihutang), secara konvensional, pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Ketidak-adilan disini adalah si peminjam diharuskan untuk selalu, tidak boleh tidak memberikan tambahan kepada si pemberi pinjaman dan pihak pemberi pinjaman pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.

3.    Hukum  Riba dan Macam-Macamnya
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara riba itu hukumnya haram.  Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat al Qur’an ( QS.an-Nisa’, 4 ; 161, Ali Imron, 3 ; 130, al-Baqarah, 2 ; 275, 278-279 ) dan hadits Rasulullah ; “Rasulullah saw. melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba dan para penilisnya”.(Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah ibn Mas’ud)
Ulama Fiqh membagi riba menjadi dua macam, yaitu riba al-fadhl dan riba al-nasi’ah.  Riba fadhl adalah riba yang terjadi pada jual beli barter, yaitu kelebihan pada salah satu jenis harta yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’. Ukuran syara’ disini adalah timbangan atau takaran tertentu.  Misalnya, satu kilogram beras rajalele dijual dengan satu setengah kilogram beras yang sama. Kelebihan setengah kilogram dalam jual beli ini disebut dengan riba fadhl. Apabila jenis yang diperjual-belikan berbeda, maka kelebihannya tidak dipandang riba asalkan dengan cara tunai. Misalnya, satu kilogram beras ditukar dengan dua kilogram jagung, maka kelebihan satu kilogram jagung tidak dipandang sebagai riba fadhl. Hal ini sebagaimana dalam hadits disebutkan bahwa “memperjualbelikan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam dengan garam (haruslah) sama, seimbang dan tunai. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh berlebih) asal dengan tunai”.(Hadits Riwayat Muslim dari Ubadah bin Shomid). Menurut Ulama Hanafiyah dan Hanabilah, dalam berjual beli, prinsip keadilan dan keseimbangan harus ada. Kalau tidak adil dan seimbang, maka akan mucul kedzaliman. Oleh sebab itu, kelebihan salah satu barang dalam jual beli barang sejenis merupakan kelebihan tanpa imbalan yang sangat merugikan pihak lain. Praktik seperti ini menjurus kepada kedzaliman. 
Berdasarkan hadits Nabi dari Ubadah bin Shomid diatas, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah menetapkan bahwa illat hukum larangan riba fadhl itu adalah kelebihan barang atau harga dari benda sejenis yang diperjualbelikan melalui alat ukur al-wazn (timbangan) dan al-kail (takaran). Oleh sebab itu, berdasar illat ini, mereka tidak mengharamkan kelebihan pada jual beli rumah, tanah, hewan, dan benda lain yang dijual dengan satuan, sekalipun sejenis, karena benda-benda seperti ini dijual berdasarkan nilainya, bukan berdasar al-wazn atau al-kail.
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah memandang illat keharaman riba fadhl pada emas dan perak terletak pada kedua barang itu merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk, seperti cincin, kalung, maupun belum, seperti emas batangan. Oleh sebab itu, apabila emas dan perak, apabila sejenis, tidak boleh diperjualbelikan dengan cara melebihkan harga salah satu dari yang lain. Misalnya, dua gram cincin emas dijual dengan satu gram emas batangan, maka kelebihan satu gram emas cincin itu termasuk riba fadhl.  Sementara illat keharaman riba fadhl pada empat jenis makanan sebagaimana yang disebutkan dalam hadtis diatas, menurut ulama Malikiyah adalah makanan pokok dan tahan lama sekalipun ulama Malikiyah tidak membatasi berapa tahan lama yang dimaksud.  Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa illat keharaman riba pada jenis makanan adalah semata-mata karena benda itu bersifat makanan, baik makanan pokok, makanan ringan ( buah-buahan dan lain sebagainya), yang semuanya bertujuan untuk menjaga kesehatan tubuh. Oleh sebab itu, apabila kelebihan pembayaran pada jenis makanan ini menjadi riba fadhl. Kalau berbeda jenis, boleh diperjualbelikan dengan melebihkan harga dari jenis lain, asalkan dengan cara tunai. 
Riba al-Nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berhutang kepada pemilik modal (pemberi hutang) ketika waktu yang disepakati jatuh tempo.  Tambahan (bunga) itu sebagai imbangan tenggang waktu jatuh tempo, ini yang dinamakan nasi’ah. Apabila pada waktunya sudah jatuh tempo, ternyata yang berhutang tidak sanggup membayar hutang dan kelebihannya, maka waktunya dapat diperpanjang dan jumlah utang akan bertambah pula. Mengacu pada pengertian riba sebagaimana yang telah disebutkan dimuka, riba an-nasi’ah tidak hanya terjadi pada hutang pihutang saja, melainkan juga bisa terjadi pada jual beli barter barang yang sejenis atau pun tidak sejenis. Misal dalam barter barang yang sejenis, membeli satu kilogram beras dengan dua kilogram beras yang akan dibayarkan satu bulan yang akan datang. Barter dalam barang yang tidak sejenis, seperti membeli satu kilogram terigu dengan dua kilogram beras akan dibayarkan dua bulan yang akan datang. Kelebihan salah satu barang, sejenis atau tidak, yang dibarengi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu, termasuk riba an-nasi’ah.  Jenis riba yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah riba al-nasi’ah yang terjadi pada hutang pihutang tidak dalam jual beli barter (tukar menukar barang).

4.    Illat Hukum Larangan Riba

Menurut ulama Hanafiyah, illat hukum keharaman riba al-nasi’ah adalah kelebihan pembayaran dari pokok hutang yang ditunda pembayarannya pada waktu tertentu. Misalnya, Ahmad berhutang kepada Amir sejumlah dua ratus ribu rupiah, yang pembayarannya dilakukan bulan depan dan dengan syarat pengembalian hutang itu dilebihkan menjadi dua ratus lima puluh ribu rupiah. Kelebihan uang dengan tenggang waktu ini disebut dengan riba al-nasi’ah. Unsur kelebihan pembayaran dapat berlipat ganda, apabila hutang tidak dapat dibayar pada saat jatuh tempo,  menurut ulama Hanafiyah, merupakan suatu kezaliman dalam muamalah. Kezaliman, bagaimanapun bentuknya, menurut mereka adalah haram.  Oleh karena itu, Allah menyatakan pada akhir ayat riba al-Baqarah, 2 ; 279 : “….kamu tidak (jangan) menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. Ulama Malikiyyah , Syafi’iyyah dan Hanabilah memandang illat hukum larangan riba an-nasi’ah, karena ada kelebihan (tambahan-bunga) yang dikaitkan dengan pembayaran tunda (tenggang waktu), baik kelebihan itu dari pokok hutang atau pada barang sejenis maupun tidak sejenis.  Mereka sepakat, jika kelebihan itu tidak ditetapkan dimuka, maka kelebihan itu tidak termasuk riba. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi, ketika membayar hutang kepada Jabir ibn’ Abdillah , Nabi melebihkannya. ( hadits riwayat Bukhori Muslim).
Berdasarkan pendapat ulama ahli fiqh mengenai riba diatas, maka dapat dipahami bahwa illat hukum larangan riba adalah adanya tambahan (bunga) dari pokok harta yang tidak dimbangi oleh transaksi pengganti yang dibenarkan oleh syara’.

5.    Riba menurut Pemikiran M. Quraish Shihab

a. Latar Belakang Sosiologis Sebab Turun Ayat larangan Riba
Sejarah menjelaskan bahwa Thaif, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Thaif bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan al-Qur’an mengabarkan tentang hal tersebut dalam Surat al-Quraisy. Disana pun mereka telah mengenal praktek-praktek riba. terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS.2;275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.
Kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Jika hanya berhenti pada makna “kelebihan” tersebut, maka cukup beralasan anggapan kaum musyrik di atas, meskipun ayat al-Qur’an hanya menyatakan “Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. 2;275). Hukum halal dan haram dalam ayat tersebut, tidak akan ditentukan tanpa adanya “sesuatu” yang membedakannya, dan “sesuatu” itulah yang menjadi penyebab keharaman riba.
Pembahasan riba yang diharamkan al-Qur’an dapat dikaji dengan menganalisis  khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci dari ayat-ayat tersebut, yaitu adh’afan mudha’afah ( QS. Ali Imron ; 130), ma baqiya mi al-riba (QS. Al-Baqarah ; 278), falakum ru’usu amwalikum (QS. Al;-Baqarah ; 279) dan la tazhlimuna wa la tuzhlamun (QS. Al-Baqarah ; 279) Dengan memahami kata kunci ini, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan al-Qur’an atau apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram.
Kata adh’af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha’if yang diartikan sebagai “sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)”. Dengan demikian, adh’afan mudha’afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali.
Al-Thabariy mengemukakan beberapa riwayat yang dapat menghantarkan kepada pengertian adh’afan mudha’afah atau riba yang berlaku pada masa turunya al-Qur’an, antara lain : Pertama, dari Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa riba pada masa jahiliyyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berhutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh Kreditur ( yang menghutangi) dan berkata kepada debitur (yang berhutang) ; “ bayarlah atau kamu tambah untukku “. Maka apabila yang berhutang mempunyai sesuatu (untuk membayarnya), ia melunasi hutangnya, dan bila tidak, ia menjadikan hutangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjaminya). Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua, maka yang dijadikan pembayarannya seekor hewan yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga, begitu juga seterusnya. Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), kreditur mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400 dan seterusnya sampai ia mampu membayar.  Kedua, Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya “untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran “, maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.  Ketiga, Qatadah menyatakan menyatakan bahwa riba pada masa jahiliyyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan ditangguhkan masa pembayarannya.
Riwayat-riwayat diatas dapat digarisbawahi bahwa,; pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke 2) atau debitor (riwayat ke 2) pada saat jatuh tempo masa pembayaran. Dalam hal ini, Ahmad Mustafa al-Maraghi mengomentari bahwa riba pada masa jahiliyyah adalah riba yang dinamai pada masa sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau berlebih-lebihan), yakni keuntungan yang berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi pertama seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka (yang memberi pinjaman), maka mereka memaksa untuk mengadakan peliupatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al-nasi’ah ( riba akibat penundaan). Ibnu Abbas berpendapat bahwa nash al_Qur’an menunjuk kepada riba al-nasi’ah yang dikenal (ketika) itu.  Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan dalam riwayat pertama adalah perkalian dua kali, sedang pada riwayat kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekedar penambahan dari jumlah kredit. Hal ini mengandung makna satu dari dua kemungkinan ;  memahami masing-masing riwayat secara berdiri sendiri artinya riba yang dilarang adalah setiap tambahan dari jumlah hutang dalam kondisi tertentu, baik penambahan itu berlipat ganda ataupun tidak berlipat ganda atau memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga dapat dipahami bahwa penambahan yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan yang berlipat ganda. Makna yang kedua ini secara lahir di dukung oleh redaksi dan dipandang sah.
Al-Thabariy setelah mencermati riwayat-riwayat diatas dan riwayat lainnya menyimpulkan bahwa riba adh’afan mudha’afah adalah penambahan dari jumlah kredit akibat penundaan pembayaran atau apa yang dinamai dengan riba al-nasi’ah. Menurutnya, seseorang yang mempraktekkan riba dinamai murbin karena ia melipatgandakan harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik secara langsung atau penambahan akibat penangguhan waktu pembayaran.  Kesimpulan yang senada dengan al-Thabariy adalah kesimpulan dari Rasyid Ridho dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Abdul Mun’im al-Namir, salah seorang anggota Dewan Ulama Terkemuka al-Azhar menyimpulkan bahwa riba yang diharamkan tergambar pada seorang kreditor (pemodal) yang memiliki harta kekayaan yang didatangi oleh seorang yang butuh (debitor), kemudian ia menawarkan kepadanya tambahan pada jumlah kewajiban membayar hutangnya sebagai imbalan penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada akhirnya yang bersangkutan (peminjam) terpaksa tunduk dan menerima tawaran tersebut secara tidak rela.
Mencermati riwayat-riwayat yang dikemukakan ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula yang sekedar penambahan, menimbulkan pertanyaan ; apakah yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipatganda atau segala bentuk penambahan dari jumlah hutang. Permasalahan ini menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, bagi yang berpegang pada teks ayat, berlipatganda merupakan syarat keharaman. Artinya, bila tidak berlipat ganda, maka ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahjwa teks “berlipatganda” bukan merupakan syarat tetapi sebagai penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktekkan pada masa turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah tetap haram.  Menurut M.Quraish Shihab, untuk menyelesaikan masalah ini, perlu mencermati ayat terakhir yang turun menyangkut riba, khususnya kata kunci yang terdapat didalamnya. Sekalipun teks adh’afan mudha’afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga (QS. Ali Imron;3;130).
Kata kunci dalam surat al-Baqarah ayat 278 yaitu “ma baqiya min al-riba ( tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut). Kalimat al-riba adalah ma’rifah (definite) ini merujuk kepada riba adh’afan mudha’afah ataukah tidak ? Rasyid Ridho menanggapi pertanyaan ini dengan mengemukakan tiga alasan untuk membuktikan bahwa kata al-riba pada ayat al-Baqarah ini merujuk kepada riba yang berbentuk adh’afan mudha’afah itu.   Pertama ; menurut kaidah kebahasaan bahwa pengulangan kosakata yang berbentuk ma’rifah, maka pengulangan kosakata yang kedua sama dengan kosakata pertama. Dalam hal ini, kata al-riba pada Surat Ali Imron ayat 130 dalam bentuk ma’rifah demikian pula al-riba pada ayat 278 al-baqarah. Atas dasar ini, maka berarti riba yang dimaksud pada tahab akhir yaitu surat al-baqarah ayat 278 sama dengan apa yang dimaksud riba pada tahapan kedua yaitu surat Ali Imron ayat 130 yaitu yang berbentuk Riba adh’afan mudha’afah ( berlipatganda). Kedua, memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba pada al-baqarah 278 yang tidak bersyarat itu berdasarkan pada kata al-riba yang bersyarat adh’afan mudha’afah surat Ali Imron 130. Atas dasar ini, maka yang dimaksudkan riba yang diharamkan adalah riba yang berbentuk berlipat ganda atau adh’afan mudha’afah. Ketiga, Pembicaraan al-Qur’an tentang riba selalu digandengkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya dengan dhulm (penganiayaan atau penindasan). Dalam hal ini, M. Quraish Shihab membenarkan atau mendukung pemikiran Rasyid Ridho. Pembenaran ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang jelas tentang sebab nuzul ayat al-Baqarah di atas. Diantara riwayat-riwayat tersebut adalah; pertama, Al-‘Abas (paman Nabi) dan seorang dari keluarga Bani Mughirah bekerja sama memberikan hutang secara riba kepada orang-orang Dario kabilah Tsaqif. Kemudian dengan datangnya Islam (diharamkannya riba) mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta benda yang banyak, maka diturunkan ayat 278 al-Baqarah untuk melarang mereka memungut sisa harta mereka yang berupa riba yang mereka praktekkan ala jahiliyyah itu.  Kedua, Ayat 278 al-Baqarah turun menyangkut kabilah Tsaqif yang melakukan praktek riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan bersepakat dengan nabi untuk tidak melakukan riba lagi. Tetapi pada waktu pembukaan kota Makkah, mereka masih ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya larangan riba, seakan mereka beranggapan bahwa larang tersebut tidak berlaku surut. Maka turunlah ayat al-baqarah 278 tersebut untuk menegaskan larang memungut sisa riba tersebut.
Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, Ibnu Jarir al-Thabariy menyuatakan bahwa ayat al-baqarah 278 tersebut berarti tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba, yakni riba yang berlebih dari modal.
Mencermati penjelasan Rasyid Ridho dan keterangan riwayat-riwayat diatas, tidak beralasan untuk menjadikan pengertian riba pada ayat terakhir (al-Baqarah 278) melebihi pengertian riba dalam ayat 130 Ali Imron yang turun sebelumnya ( riba adh’afan mudha’afah). Oleh sebab itu dapatlah diambil pemahaman bahwa riba yang diharamkan al-Qur’an adalah yang disebutkannya sebagai adh’afan mudha’afah (berlipatganda) atau yang disebut dengan riba al-nasi’ah.

b. Illat Hukum Larangan Riba Dalam Al-Qur’an.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kerangka teori bahwa yang dimaksud dengan illat hukum adalah sesuatu sifat yang menjadi motivasi atau yang melatar-belakangi terbentuknya suatu hukum. Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan ; apa yang menjadi sifat atau motivasi yang menjadi latar belakang larangan riba dalam al-Qur’an.
Berbagai penjelasan yang diutarakan oleh kalangan ahli tafsir mengenai latar belakang sebab turun ayat riba dengan diperkuat oleh beberapa riwayat, maka ada dua kemungkinan illat hukum larangan riba yaitu antara semata-semata kelebihan dari pokok hutang atau tidak sekedar kelebihan atau penambahan jumlah hutang.
Dalam menjawab persoalan diatas, perlu dimunculkan pertanyaan yang terkait dengan masalah apakah berlipat ganda itu merupakan syarat riba yang diharamkan ataupun tidak. Jika kelebihan berlipat ganda adalah sebagai syarat, maka kelebihan yang tidak berlipatganda menjadi tidak diharamkan dan sebaliknya.
M. Quraish Shihab dalam menanggapi persoalan diatas , mengemukakan bahwa ada kata kunci dalam surat al-Baqarah ayat 279 yaitu  fa lakum ru’usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu). Kata ini menunjukkan bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. Jika demikian, berarti setiap kelebihan atau penambahan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dengan demikian, kata kunci dalam ayat 279 al-baqarah ini menjadi dalil untuk menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipatganda atau tidak, telah diharamkan al-Qur’an dengan turunnya ayat tersebut. Ini berarti kata adh’afan mudha’afah bukan sebagi syarat tetapi sekedar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan. Konsekwensi dari pemikiran ini, menjadikan persoalan kata adh’afan mudha’afah tidak penting lagi, apakah menjadi syarat atau tidak, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, yang pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Kalau kesimpulan ini yang menjadi patokan, dirasa belum sesuai dengan rasa keadilan. Sebab dalam penutup ayat riba ( surat al-Baqarah ayat 279) diisyaratkan dengan kalimat la tadzlimun wa la tudzlamun ( kamu tidak menganiaya dan tidak pula menganiaya ).
Pemahaman yang lebih jauh dari riwayat-riwayat tentang praktek riba pada masa turun al-Qur’an, sebagaimana yang dikemukakan oleh kalangan ahli tafsir diatas, menunjukkan bahwa praktek tersebut mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan. Kesimpulan ini di konfirmasikan oleh penutup ayat riba al-Baqarah 279 di atas, juga sebelumnya diperkuat oleh rangkaian kata riba selalu dihadapkan dengan sedekah, yang menunjukkan bahwa kebutuhan si peminjam sedemikain mendesaknya dan keadaanya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman tanpa mengharapkan imbalan. Bukankah ini yang diisyaratkan oleh ayat al-Qur’an surat al-baqarah 280 : Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada wakjtu yang ditetapkan), maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagi kamu mjika kamu mengetahui.


G. SIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dari berbagai riwayat dan uraian ahli tafsir tentang sebab turun ayat larangan riba, maka pada akhir tulisan ini dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.    Latar belakang sosiologis yang menjadi sebab turun ayat larangan riba dalam al-Qur’an adalah kebiasaan prilaku orang-orang jahiliyyah yang melipatgandakan pengembalian dari pokok hutang yang dipinjamkan kepada debitor yang sangat membutuhkan.
2.    Illat hukum larangan riba dalam al-Qur’an adalah bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah hutang tetapi kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan (zhulm).
3.    Perbedaan Pendekatan Ahli Fiqh dengan M.Quraish Shihab dalam merumuskan illat hukum larangan riba terletak pada perbedaan di dalam memahami teks (nash) al-Qur’an dan al Hadits tentang riba. Pendekatan Ahli fiqh lebih condong pada makna tekstual ayat ataupun hadits, sehingga setiap bentuk kelebihan dari jumlah hutang adalah riba yang diharamkan. Sementara pendekatan M.Quraish Shihab lebih menekankan pada pemahaman makna subtansi (kontekstual) dari ayat ataupun hadits, sehingga tidak setiap kelebihan dari jumlah hutang dinamakan riba, tetapi kelebihan yang terdapat unsur penganiayaan dan penindasan.

H. IMPLIKASI

Hasil penelitian dari pemikiran M.Quraish Shihab tentang riba, yang menyatakan bahwa riba terjadi bukan semata-mata ada tambahan dari jumlah hutang, tetapi kelebihan yang terdapat unsure kedzoliman, akan menjadi mainstream umat Islam di Indonesia didalam pemahaman terhadap teks-teks ayat maupun hadits, yang berkenaan dengan materi hukum Islam tidak saja melihat dari tekstual formalis (law in book) tetapi lebih mengarah pada makna subtansinya ( Kontekstual).




Daftar Pustaka


Abdurrahman, Asmuni, 1978, Qaidah-Qaidah Fiqhiyyah, Jakarta; Bulan Bintang.

Al-Ghazali, Abu Hamid, 1980, al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul, Beirut; Dar al Kutub al-“Ilmiyah’

Al-Haj, Ibnu Amir, al-Taqrir wa al-Tahbir, Mesir; al-Matba’ah al-Amiriyyah.

Al Jauziyyah, Ibnul Qayyim, 1973, A’lam al-Muwaqqi’in, Beirut; Dar al-Jail

Al Maraghi, Ahmad Mushtafa, 1946, Tafsir al-Maraghi, Mesir; Mushtafa al-Halabiy.

Al Namir, Abdul Mun’im, 1986, al-Ijtihad, Kairo; dar al-Suruq

Al Syathibi, Abu Ishak, 1973, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut; Dar al-Ma’rifah.

Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta; Gena Insani.

Ath-Thobari, Imam, tt., Tafsir al-Thobari, Beirut; Dar al-Fikri.

Bakar, Al Yasa Abu, 1991, “Fiqh Islam dan Rekayasa Sosial, dalam Ari Anshori dan Slamet warsidi (Ed.), Fiqh Indonesia DalamTantangan, Surakarta; FAI – UMS.

Bakri, Asfari Jaya, 1996, Konsep Maqosid Syari’ah, asy-Syathibi, Jakarta; Rajawali Press.

Dawud, Imam Abu, Shohihul Abu Dawud, bab al-Buyu’, Beirut; Dar al-Fikri.

Djazuli,A, dan Aen, Nurol, 2000, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta; PT. Rajawali Grafindo.

Efendi, Satria, “Hukum Islam : Pelaksanaan dan Perkembangannya di Indonesia, dalam Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Ed.), 1991,Fiqh Indonesia Dalam Tantangan, Surakarta; FAI – UMS.

Fuad, Mahsun, 2005, Hukum Islam Indonesia, Yogyakarta; PT. LKIS.

Haroen, Nasrun, 1996, Ushul Fiqh I, Jakarta; Logos.

_____________, 2000, Fiqh Muamalah, Jakarta, gaya Media Pratama.

Hasan, Husein Hamid, Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo; Dar al-Nahdhah al_’Arabiyah.

Husein, Ibrahim Husein, 1988, “Memecahkan Permasalahan Baru “, dalam Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung; Mizan.

Mas’ud, Muhammad Khalid, 1995, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj. Yudian W Asmin, Surabaya; al-Ikhlas.

Ridho, Muhammad Rasyid, 1376 H, Tafsir al-Manar, Mesir; Dar al-Manar, Jilid III,

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Beirut; Dar al-Fikri.

Safi, Louay,1996, The Foundation of Knowledge a Comparation Studi Islamic and Western Methods of Inquiry, Selangor; IIU.

Shihab, Muhammad Quraesy, 1992, Membumikan al_Qur’an, Bandung; Mizan.
________________________, 1999, Wawasan Al-Qur’an, Bandung ; Mizan.
________________________,    2003, Tafsir Al-Misbah, Bandung ; Mizan.

Turmudzi, Imam, tt., Shohihul Turmudzi, bab al-Buyu’, Beirut; Dar al-Fikri.

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta; Pustaka Firdaus.

Zaid, Mustashfa, “al-Maslahah al-Tasyri’ al-Islami wa Najm al_din al-Thufi”, dalam Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta; Logos.

Rabu, 08 Februari 2012

HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PERSPEKTIF FIQH MUAMALAH

Abstrak

Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dua tugas pokok yang diemban manusia sebagai khalifah, yaitu beribadah kepada Allah, dan membangun peradaban dimuka bumi. Untuk membangun peradaban dimuka bumi, Allah memberikan piranti yaitu kemampuan akal atau intelektual manusia untuk berkarya memakmurkan bumi melalui daya cipta, rasa, dan karsanya. Cipta, rasa dan karsa sebagai refleksi intlektual manusia dalam konteks dunia ekonomi merupakan asset yang sangat berharga dibanding dengan asset kebendaan lain.
Berdasar perspektif diatas, dalam tulisan ini penulis mengkaji permasalahan karya intlektual manusia, terutama mengenai hak kekayaan yang melekat pada karya intlektual, kedudukan dan dasar hukumnya dilihat dari sudut pandang fiqh muamalah.
Hasil pembahasan ditemukan bahwa Karya Intlektual Manusia dilihat dari sudut fiqh termasuk kedalam hak ibtikar yang dipandang sebagai harta. Kedudukan bagi penemu atau penciptanya sebagaimana kedudukan kepemilikan benda-benda lainya, yaitu dapat diwariskan, diwasiatkan dan dipindahtangankan atau ditransaksikan.Dasar hukum Hak atas Kekayaan Intlektual Manusia adalah Urf dan Maslahah Mursalah. Hak atas Kekayaan Intlektual Manusia merupakan asset yang bernilai ekonomi Oleh sebab itu untuk menjaga eksistensi keberadaannya, harus mendapatkan perlindungan hukum dari pihak pemerintah baik lewat Undang-Undang atau Peraturan lain. Tindakan pemerintah mengatur hak atas kekayaan intlektual manusia ini tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam : “ Tasharuf (tindakan) Imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan”.

Kata Kunci : Kekayaan Intelektual Manusia, Hak Ibtikar, Hukum Islam


A.    Pendahuluan
Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Ada dua tugas pokok yang diemban menusia sebagai khalifah, yaitu disamping untuk beribadah kepada Allah, juga dituntut untuk membangun peradaban dimuka bumi.  Untuk dapat membangun perdaban dimuka bumi, Allah memberi sarana atau piranti yaitu kemampuan akal atau intelektual manusia untuk berkarya memakmurkan bumi,  baik dibidang ilmu pengetahuan, seni sastra, social, ekonomi,  dan teknologi melalui daya cipta, rasa, dan karsanya.
Karya-karya intelektual yang dilahirkan dengan penuh pengorbanan tersebut menjadikan karya yang bernilai ekonomi. Nilai ekonomi ini sangat berbeda dengan nilai ekonomi yang muncul bukan dari karya intelektual manusia, seperti kekayaan yang diperoleh dari alam, tanah atau tumbuh-tumbuhan berikut hak-hak kebendaan lain yang dihasilkan. Nilai ekonomi yang melekat dari karya intelektual manusia dalam konteks dunia dagang atau usaha merupakan aset perusahaan yang sangat berharga dibanding dari asset kebendaan lain.
Perkembangan karya intelektual manusia pada akhirnya menimbulkan kebutuhan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut, yang yang pada akhirnya memerlukan adanya sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan yang tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga akan mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat untuk menghasilkan karya-karya yang lebih besar.
Melalui gambaran singkat diatas, tampak betapa kebutuhan akan pertumbuhan dan pengembangan system Hak kekayaan Intelektual manusia, yang sebenarnya berakar pada pada kebutuhan masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum dari pihak Negara atau pemerintah. Adanya perlindungan hukum seperti ini, dimaksudkan agar pemilik hak dapat menggunakan atau mengekploitasi kekayaan tadi dengan aman, yang pada akhirnya rasa aman itulah yang kemudian menciptakan suasana yang memungkinkan orang lain berkarya guna menghasilkan atau temuan berikutnya dan masyarakat dapat ikut menikmati dan menggunakannya atas dasar izin atau bahkan mengembangkannya secara lebih lanjut. Hal ini, berarti bahwa kehadiran system peraturan hukum merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan ekonomi atau bisnis.
Berdasarkan perspektif diatas, dalam tulisan ini, penulis merasa perlu mengkaji persoalan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dari sudut pandang Hukum Islam. Permasalahan yang muncul untuk dicari jawabannya adalah : (1) apakah Hak atas Kekayaan Intelektual manusia (HaKI) termasuk kategori harta, dan bagaimana kedudukannya serta dasar hukumnya. bila dilihat dari segi Hukum Islam (Fiqh Muamalah). (2) Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap perlindungan hukum bagi HaKI.
B. Hak Ibtikar
Ibtikar secara bahasa berarti awal sesuatu atau permulaan. Ibtikar dalam fiqh Islam adalah hak kreasi atau hak cipta yang dihasilkan seseorang untuk pertama kali, yang dalam dunia ilmu pengetahuan Ibtikar dikenal dengan hak cipta.
Pengertian Ibtikar tidak ditemukan dalam literature  fiqh klasik, kajian tentang Ibtikar secara mendalam dari para ahli hukum Islam juga jarang ditemukan. Pembahasan hak Ibtikar dapat dilacak dalam kitab fiqh kontemporer. Fathi ad-Duraini, menyatakan bahwa Ibtikar adalah gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuwan melalui kemampuan pemikiran dan analisisnya dan hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama, yang belum dikemukakan ilmuwan sebelumnya.
Difinisi tersebut mengandung pengertian bahwa dari segi bentuk, hasil pemikiran itu tidak terletak pada materi yang berdiri sendiri yang dapat diraba dengan alat indra manusia, tetapi pemikiran itu baru berbentuk dan punya pengaruh apabila telah dituangkan kedalam tulisan, media atau logo dan lain-lain. Kemudian hasil pemikiran itu bukan jiplakan atau saduran atau pengulangan dari pemikiran ilmuan sebelumnya dan byukan pula berbentuk saduran. Akan tetapi ibtikar ini bukan berarti sesuatu yang baru sama sekali, tetapi boleh berbentuk suatu penemuan sebagai perpanjangan dari teori ilmuan sebelumnya seperti penerjemahan hasil pemikiran orang lain kedalam bahasa asing.. Penerjemahan dapat dimaukkan kedalam kategori ibtikar karena adanya usaha dan kemampuan bahasa penerjemah untuk menyebarluaskan suatu karya ilmiyah, meskip[un pemikiran aslinya bukan muncul dari penerjemah.
C.    Sifat Ibtikar
      Ibtikar hanyalah sebagai gambaran pemikiran dan gambaran pemikiran ini akan berpengaruh luas apabila telah dipaparkan atau dituangkan dalam bentuk tulisan atau cetakan maupun dalam media-media lainnya. Buah pikiran ilmuan  sebagai ibtikar sebenarnya sebuah gambaran pemikiran yang belum berwujud materi. Akan tetapi pabila pemikiran ini telah dituangkan dalam bentuk media apapun, maka buah pemikiran itu akan berpengaruh luas baik dari segi material maupun pemikiran. Oleh karena itu, menurut ulama fiqh, ibtikar apabila dilihat dari sisi materinya, lebih serupa dengan manfaat suatu benda atau materi, seperti buah-buahan dan susu hewan perahan, apabila telah dipetik dari pohonya atau  perahan dari hewan itu, karena pemikiran seseorang setelah dipisahkan dari pemikirnya dan dipaparkan pada suatu media, seminar atau simposiaum dan sebagainya, maka menjadi bersifat materi.
Ulama fiqh lain membedakan antara hasil pemikiran seseorang dengan hasil atau manfaat suatu benda dari dua sisi : Pertama, dari sisi jenisnya, manfaat suatu benda, baik bergerak atau tidak bergerak, seperti manfaat rumah, lahan, buah-han, kendaraan dan hewan, berasal dari sumber yang bersifat material, yaitu rumah, lahan, [pepohonan, kendaraan itu senidiri dan hewan. Sedangkan sumber  dari pemikiran sebagai suatu ciptaan atau kreasi seseorang bersumber dari akal seseorang manusia yang hidup dan mengerahkan kemampuan berpikirnya. Oleh sebab itu, dalam ibtiikar, sumber materinya tidak kelihatan. Kedua, dari segi pengaruhnya, manfaat dari benda-benda material merupakan tujuan utama dari suatu benda dan manfaat inilah yang dijadikan tolok ukur dari suatu benda. Akan tetapi, pengaruh dari sauatu pemikiran lebih besar disbanding manfaat suatu benda, karena pemikiran yang dituangkan dalam sevbuah buku atau media lain akan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan manusia dan menunjukkan jalan bagi manusia untuk menggali sumber daya alam untuk menunjang kehidupan manusia itu.  Hasil pemikiran inilah yang membedakan antara seseorang dengan lainnya, sehingga dalam al-Qur’an disebutkan bahwa apakah sama antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. (Q.S. az-Zumar, 39 : 9).
Ibtikar atau hak cipta merupakan sesuatu hal yang baru dalam kajian hukum Islam, seiring dengan kemajuan dunia keilmuan, dunia usaha (dagang), dan kehidupan social budaya masyarakat. Ibtikar secara maknawi sebagai kepemilikan khusus, dan merupakan hasil karya intelektual manusia yang sudah selayaknya ada penghargaan khusus dari masyarakat umum baik dari segi moral maupun financial.
D. Kedudukan Hak Ibtikar dan dasar hukumnya.
Ibtikar bila dikaitkan dengan pengertian harta dalam hukum Islam, menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli fiqh. Menurut Ulama Hanafiyah, yang dinamakan harta adalah segala sesuatu yang mungkin disimpan dan bisa dimanfaatkan secara wajar. Pengertian ini membawa akibat bahwa sesuatu itu dapat dipandang harta, jika memenuhi dua unsure, yaitu (1) dapat disimpan, maka sesuatu yang tidak bisa disimpan tidak dipandang sebagai harta. (2) dapat dimanfaatkan secara biasa.Konsekwensi logis dari pendapat Ulama hanafiyah adalah yang dinamakan harta harus bersifat benda atau sesuatu yang bersifat materi atau yang bisa diindra (kasat mata). Sedangkan manfaat atau hak bukan dipandang sebagai harta, tetapi merupakan kepemilikan. 
Jumhur Ulama berpendapat bahwa harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai dan orang yang merusakannya harus menggantinya atau menaggung beban atas kerusakannya. Imam Syafi’i mengatakan, al-mal(harta) dikhususkan pada sesuatu yang bernilai dan bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekwensi bagi yang merusakkannya. Berdasarkan pengertian ini al-mal (harta) haruslah sesuatu yang dapat merefleksikan nilai finasial, dalam arti bisa diukur dengan satuan moneter.  Konsekwensi logis dari pemikiran Jumhur Ulama ini adalah bahwa yang dinamakan harta tidak harus bersifat benda atau materi, tetapi bisa juga manfaat atau hak dapat dipandang sebagai harta. Alasan yang digunakan oleh Jumhur bahwa maksud orang memiliki suatu benda bukan karena semata-mata bendanya tetapi adalah manfaat dari benda itu sendiri.
Pendapat Jumhur Ulama bila dikaitkan dengan hak Ibtikar, maka hasil pemikiran, ciptaan, dan kreasi seseorang termasuk harta, karena menurut mereka, harta tidak hanya bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat. Atas dasar ini, maka pemikiran, hak cipta, atau kreasi yang sumbernya adalah pemikiran manusia bernilai harta dan kedudukan sama dengan benda-benda lain, seperti mobil, rumah, dan sebagainya.
Imam al-Qarafi berpendapat lain bahwa sekalipun hak ibtikar itu merupakan hak bagi pemikirnya, tetapi hak ini tidak bersifar harta, bahkan tidak terkait sama sekali dengan harta. Oleh sebab itu, menurutnya, hak ibtikar tidak boleh diwariskan, tidak boleh diwasiatkan dan tidak boleh ditransaksikan dengan transaksi yang bersifat pemindahan hak milik, Alsanya adalah karena yang menjadi sumber hak adalah akal dan hasil akal yang berbentuk pemikiran tidak bersifat material yang boleh diwariskan, diwasiatkan dan ditransaksikan. Krete5ria umum dalam harta yang dapat diwariskan, diwasiatkan atau dtransaksikan itu adalah bebrentuk harta atau yang bernilai harta. Sedangkan hak pada hasil pemikiran seseorang merupakan hak yang tidak bernmilai harta, karena sumbernya bukan harta, yaitu akal manusia.
Pendapat al-Qarafi ini ditentang oleh ulama mayoritas ahli fiqh, anatar lain dari ulama Malikiyyah, yang menyatakan bahwa sekalipun asalnya adalah akal manusia, namun hak ibtikar setelah dituangkan dalam bentu media memiliki nilai harta yang besar, bahkan melebihi nilai sebagian harta benda material lain. Menurutnya, semata-semata pemikiran yang asalnya  adalah akal seseorang tidak boleh dipindahktangankan. Akan tetapi setelah pemikiran itu dituangkan dalam bentuk media atu yang lain, maka hasil pemikiran itu telah bersifat material dan bernilai harta. Atas dasar ini, menurut ulama malikiyah hasil pemikiran itu dapat dipandang sebagai harta, apabila hasil pemikiran itu sudah dituangkan dalam bentuk tulisan, cetakan atau media apapun.
Hak cipta atau kreasi karya intelektual manusia, merupakan hal baru dan belum ditemukan nash hukumnya (dalil khusus) baik dari ayat al-Qur’an maupun al-Hadits. Secara Ijtihadi dapat didasarkan pada : (1) “urf (suatu kebiasaan atau dapat yang berlaku umum dalam suatu masyarakat). Adat yang telah berjalan dan berlaku umum dapat dijadikan dasar hukum, sebagaimana dalam kaidah hukum Islam : “ Adat Kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum “.  (2) Maslahah Mursalah adalah sesuatu yang dianggap maslahat, namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya, tetapi maslahah itu secara subtansial sejalan atau tidak bertentangan dengan petunjuk umum syari’at atau ruh syari’ah maupun maqasid syari’ah. 
Konsekwensi hukum Islam memandang bahwa hak Ibtikar termasuk kedalamn kategori harta yang berakibat bagi penemu atau pencipta terhadap hasil karya atau ciptaannya menjadi hak milik mutlak yang bersifat materi. Penemu atau pencipta berhak atas nilai materi itu atau hak tersebut, ketika digunakan atau dimanfaatkan oleh orang lain dengan seizinnya. Hak ini layaknya harta dan berlaku pada hukum yang melingkupinya.
Berpijak dari hal tersebut, hak Ibtikar mempunyai kedudukan yang sama dengan kepemilikan harta lain yang bisa ditransaksikan, diwariskan atau diwasiatkan, maka untuk menjaga eksistensi keberadaan hak ibtikar tersebut dari hal-hal yang merusakkannya harus mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah lewat peraturan atau undang-ungdang dengan mempertimbangkan kemaslahatan kedua belah pihak. Tindakan pemerintah mengatur hak ibtikar bagi warga negaranya tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam : “ Tasharuf (tindakan) Imam terhadap rakyatnya harus dihubungkan dengan kemaslahatan “.
Perlindungan hukum atas hak ibtikar seseorang lewat undang-undang atau hukum yang berlaku di Negara, dapat menghindari terjadinya penipuan dan kerugian dari pihakpihak yang saling bertransaksi dalam bisnis (perdagangan). Upaya pemerintah membuat aturan perlindungan hukum atas hak ibtikar bagi warga negaranya, disamping didasrkan pada “urf (adat) maupun maslahah mursalah, juga disemangati  oleh hadits Nabi Saw : “ Rasulullah Saw pernah lewat seseorang yang sedang menjual bahan makanan, lalu Rasulullah memasukkan tangannya ke dalam bahan m akanan itu, lalu ternyata bahan makanan tersebut tipuaan. Maka rasulullah bersabda : tidak termasuk golongan kami orang yang menipu “.
Berangkat daris hadits tersebut, dapat dibangun sebuah teori hukum Islam, bahwa keabsahan dan pembatalan suatu akad muamalat dalam bentuk apapun, ditentukan oleh tujuan akad yang menjadi “causa”. Causa adalah maksud atau motif para pihak ketika melakukan transaksi, dengan causa ini merupakan sumber atau dasar kekuatan yang mengikat bagi tindakan hukum bersangkutan, yaitu dasar perlindungan hukum terhadap para pihak yang melakukan akad. Unsur penipuan dalam transaksi menandakan ada indicator “cacat kehendak” dari pelaku akad, yang memberikan kepada pihak yang dirugikan (tertipu) untuk membatalkannya.
E. Analisa Hukum Islam Terhadap Hak atas Kekayaan Intlektual
Hak atas Kekayaan Intlektual manusia yang meliputi hak cipta, penemuan atau ciri khas usaha dagang, logo, merek dagang, system operasional bisnis terpadu dan sebagainya, bila dilihat dari sudut Hukum Islam, merupakan persoalan baru dalam kajian fiqh klasik. Persoalan yang muncul terkait dengan hak atas kekayaan intlektual, menyangkut status kepemilikan bagi pemiliknya dan hukum yang melingkupinya dalam pandangan hukum muamalat Islam.
Hak atas kekayaan intlektual , dalam hukum Islam termasuk kategori hak Ibtikar, yaitu penemuan atau kreasi yang merupakan hasil karya intlektual manusia yang belum pernah ditemukan oleh ilmuwan sebelumnya. Hak atas kekayaan intlektual (HaKI) bila dihubungkan dengan pengertian harta dalam hukum Islam (dalam hal ini mengacu dengan teori Ulama Jumhur ), maka HaKi dapat dipandang sebagai harta, karena menurut Jumhur Ulama, yang dinamakan harta tidak harus bersifat materi atau benda, tetapi juga manfaat atau hak dapat dipandang sebagai harta. Alasannya bahwa maksud orang memiliki suatu benda bukan karena semata-mata bendanya tetapi adalah manfaat dari benda itu senidiri. Atas dasar ini, maka hak- atas kekayaan intlektual yang sumbernya adalah pemikiran manusia bernilai harta dan kedudukannya sama dengan kepemilikan benda-benda lain, yang berakibat bagi penemu atau pencipta terhadap karya atau ciptaanya menjadi hak milik mutlak yang bersifat materi sebagaimana dengan benda-benda lain yang dapat ditransaksikan, siwariskan atau diwasiatkan. Oleh sebab itu untuk menjaga eksistensi keberdaannya dari hal-hal yang meruisaknya, harus mendapatkan perlindungan hukum dari pihak Negara atau pemerintah baik lewat Undang-Undang atau peraturan lain. Tindakan pemerintah mengatur hak atas kekayaan intlektual manusia ini tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam : “ Tasharuf (tindakan) Imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan”. Adanya perlindungan hukum ini, disamping lebih memberikan kepastian hukum, juga dapat menghindari terjadinya penipuan dan kerugian dari pihak-pihak yang saling bertransaksi dalam bisnis
Pemikiran Jumhur Ulama dipandang lebih relevan dengan perkembangan zaman, terutama kemajuan dibidang ekonomi. Karya-karya intlektual yang dilahirkan dengan pengorbanan menjadikan karya yang dihadirkan menjadi bernilai, apalagi dilihat dari manfaat ekonomi yang dapat dinikmati bagi dunia bisnis merupakan asset dagang atau persusahaan yang sangat berarti.
Teori hukum Islam tentang hak Ibtikar sebagaimana yang dijelaskan dimuka, sesuai dengan ijtihad ahli-ahli ekonomi di Indonesia lewat Dewan Perwakilan Rakyat dengan memproduk Undang-Undang Hak atas kekayaan Intlektual (HaKI) yang meliputi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2000 tenatang Rahasia Dagang.
Dalam Undang-Undang HaKI tersebut pada asasnya memberikan hak penuh bagi penemu atau pemegangnya untuk mengalihkan haknya kepada siapa saja, baik untuk memanfaatkannya atau menggunajkannya atas seizinnya
 Hak atas kekayaan intlektual manusia, walaupun tidak ada landasan khusus atau dalil baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits, secara ijtihadiyah dapat didasarkan pada “Urf” (suatu kebiasaan atau adapt yang berlaku umum dalam suatu masyarakat). Adat yang telah berjalan dan berlaku umum dapat dijadikan dasar hukum, sebagaimana dalam kaidah hukum Islam : “ Adat Kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum “ dan “Maslahah Mursalah”. yaitu sesuatu yang dianggap maslahat, namun tidak ada ketegasan hukum untukmerealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya, tetapi maslahah itu secara subtansial sejalan atau tidak bertentangan dengan petunjuk umum syari’at atau ruh syari’ah maupun maqasid syari’ah.

F. Kesimpulan
Sebagai akhir tulisan ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.    Karya Intlektual Manusia dilihat dari sudut hukum Islam termasuk kategori hak ibtikar yang dipandang sebagai Harta. Kedudukan bagi penemu atau penciptanya sebagaimana kedudukan kepemilikan benda-benda lainya, yaitu dapat diwariskan, diwasiatkan, dipindahtangankan atau ditransaksikan. Dasar hukum Hak atas Kekayaan Intlektual manuia adalah Urf dan Maslahah Mursalah
2.    Hak atas Kekayaan Intlektual Manusia merupakan asset yang bernilai ekonomi Oleh sebab itu untuk menjaga eksistensi keberadaannya dari hal-hal yang merusaknya, harus mendapatkan perlindungan hukum dari pihak Negara atau pemerintah baik lewat Undang-Undang atau poeraturan lain. Tindakan pemerintah mengatur hak atas kekayaan intlektual manusia ini tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam : “ Tasharuf (tindakan) Imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan”.








Daftar Pustaka
Abd. Rahman, Asjmuni, 1976, Qaidah-Qaidah Fiqhiyyah, Jakarta ; Bulan Bintang, Satria.

Asy’ari. Musa, 1998, Islam dan Peradaban, Yogyakarta; Pustaka Pelajar

Djuwaini,Dimyauddin i, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar,

Effendi, Satria, 2002, Ushul Fiqh, Jakarta : Prenada Media, hal.148-149
Haroen, Nasrun, 1996, Ushul Fiqh I, Jakarta ; Logos
Ibnu Majah, tt., Sunan Ibnu Majah, Beirut : Darul Fikr, Juz II, hal. 24
Margono, Suyud dan Amir Angkasa,2002, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, Jakarta; Grasindo

Shobron, Sudarno, (Ed), 2003, Studi Islam 3, Surakarta; LSI-UMS.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta,
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tenatang Rahasia Dagang
al-Zuhaili, Wahbah, 1997, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Beirut : Dar al-Fikr, Juz IV,